Kebijaksanaan dalam Sebungkus Mi Instan

oleh -62 Dilihat

Belum lama ini seorang kawan mendatangi saya dan bertanya apakah saya punya buku Ernest Hemingway yang berjudul Lelaki Tua dan Laut. Saya tidak punya, tapi saya katakan kepadanya bahwa saya bisa meminjamkan untuknya jika dia mau. Dan dia mau. Tidak hanya mau, dia juga sangat menggebu meminta saya untuk segera meminjamnya di teman saya. Meski sedikit kesal, saya mau juga melakukannya.

SAYA tidak akan berbohong bahwa saat itu saya senang mendengar kawan saya ini punya keinginan membaca buku. Setahu saya dia bukanlah tipikal yang suka membaca. Saya langsung berpikir bahwa dunia literasi tidaklah semuram yang dikatakan orang-orang. Peringkat 61 dari 62 negara yang sering digaung-gaungkan untuk mengkritik rendahnya minat baca masyarakat kita hanyalah sebentuk kesalahan metodis. Apa yang terjadi pada kawan saya ini adalah buktinya. Saya bahkan sampai membayangkan akan sebanyak apa royalti yang saya terima jika saya menerbitkan buku. Saya kira dunia literasi telah membaik sampai saya mendengar alasan kawan saya ini ingin membaca buku Ernest Hemingway.

”Saya dengar buku itu penuh dengan kalimat-kalimat motivasi,” kata kawan saya. Begitu mendengarnya, saya langsung tahu dia tidak akan pernah menyelesaikan buku itu. Dan dugaan saya benar. Ketika saya meminta dia mengembalikannya karena telah terlalu lama meminjamnya, dia benar-benar tidak menyelesaikannya. Bahkan, tidak sampai setengah dari buku itu dibacanya.

Ketika saya tanya kenapa dia tidak menyelesaikannya, dia menjawab, ”Bukunya tidak seperti yang saya dengar, tidak ada motivasi-motivasinya.”

Ya jelaslah! Kamu sangka Ernest Hemingway itu Andrea Hirata apa? Mungkin kamu salah dengar, kamu pikir Lelaki Tua dan Laut, padahal yang dimaksud adalah Laskar Pelangi. Hampir saja saya mengatakan itu. Tapi, saya segera ingat bahwa saya tidak punya banyak teman.