INLFASI memang konsep pokok ekonomi makro, sehingga pemecahannya acap tertuju pada peningkatan suku bunga, menahan investasi dan ekspor. Kebijakan ini hendak menahan penggunaan uang di lapangan, baik untuk membeli barang maupun membayar jasa, agar harga dan upahnya tidak meningkat. Artinya, inflasi menurun.
Di akar rumput, inflasi dirasakan sebagai kenaikan barang dan jasa secara umum, terutama kebutuhan pokok sehari-hari, termasuk ongkos tukang, angkutan umum, becak dan ojek, juga honor jasa lainnya. Jika inflasi membubung tidak terkendali, sejarah Indonesia seputar tahun 1965 dan 1998 bakal terulang, menegaskan ombaknya, menghancurkan tebing politik dan pemerintahan, bahkan menggerus ikatan sosial antar suku bangsa.
Alhasil, inflasi paling efektif ditangani langsung dari lapangan. Tepat di sinilah posisi desa sangat strategis. Wilayahnya mencakup 91 persen pemerintahan terendah di Indonesia, sisanya berupa wilayah kelurahan. Sebanyak 74.961 desa didiami 71 persen warganegara Indonesia. Mengatasi inflasi daerah pada level desa sejatinya menahan inflasi bagi sebagian besar anak bangsa yang hidup dalam wilayah terluas di nusantara.
Muspra menggunakan konsep-konsep abstrak untuk menjelaskan dan melawan inflasi di lapangan. Senjata yang digunakan harus kongkrit, berupa kegiatan-kegiatan yang dipraktekkan pada level mikro desa, rukun tetangga, bahkan keluarga.
Keputusan Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi Nomor 97/2022 membedakan dua kelompok aksi lapangan. Pertama, pengendalian inflasi daerah pada tingkat desa. Wujudnya rangkaian kegiatan dalam lingkup wewenang desa, fokusnya agar harga barang dan jasa di desa tidak mengalami kenaikan.