Putri Apsari Najwan
NIM: J0401231048
IPB University, Sekolah Vokasi, Komunikasi Digital dan Media
Pendahuluan
Cancel culture atau aksi boikot telah menjadi topik hangat, terutama dengan meningkatnya penggunaan media sosial. Fenomena ini dapat didefinisikan sebagai strategi kolektif yang menggunakan tekanan sosial untuk mengucilkan seseorang atau suatu entitas yang dianggap melakukan tindakan atau pernyataan yang menyinggung (Norris, 2023).
Pada dasarnya, cancel culture adalah proses pelabelan atau penolakan terhadap seseorang atau suatu merek. Bentuknya beragam, mulai dari pengasingan sosial, pemutusan kerja sama, hingga pemboikotan karya terbaru. Bagi sebagian orang, aksi ini dianggap sebagai alat demokrasi yang memberikan ruang bagi publik untuk menyuarakan pendapat dan meminta pertanggungjawaban atas tindakan yang dianggap tidak pantas.
Namun, muncul perdebatan mengenai apakah cancel culture benar-benar adil sebagai bentuk sanksi sosial atau justru berubah menjadi perundungan digital. Dalam banyak kasus, individu atau merek yang terkena dampaknya langsung mengalami hujatan massal tanpa kesempatan untuk memberikan klarifikasi. Bahkan, efeknya bisa semakin parah dengan munculnya serangan pribadi, penyebaran data pribadi (doxing), serta tekanan mental yang berat.
Jadi, apakah cancel culture adalah bentuk sanksi sosial yang efektif, atau justru menjadi alat untuk menjatuhkan seseorang tanpa memberikan solusi yang lebih baik?
Peran Media Sosial dalam Cancel Culture
Perkembangan cancel culture tidak dapat dilepaskan dari peran media sosial sebagai alat utama dalam menyebarkan isu dan membentuk opini publik. Berbagai platform seperti X (Twitter), Instagram, dan TikTok memungkinkan informasi tersebar dengan cepat dan diakses oleh jutaan orang dalam waktu singkat.
Fitur-fitur seperti like, comment, dan share berkontribusi dalam mempercepat penyebaran opini dan ajakan boikot. Sebuah unggahan yang menarik perhatian dapat dengan mudah menjadi viral dan memicu gelombang pemboikotan hanya dalam hitungan jam. Hal ini didukung oleh pola interaksi pengguna media sosial yang sering kali bereaksi cepat terhadap suatu isu, baik dengan membagikan informasi, mendiskusikannya, maupun mengunggah bukti visual yang memperkuat narasi cancel culture (Jannatania, 2021).