Oleh: Saur S Turnip
XNEWS.ID –Transportasi publik perkotaan bukan sekadar urusan kendaraan yang mengangkut manusia dari satu titik ke titik lain. Ia adalah sistem sosial yang menopang kehidupan ekonomi, memfasilitasi pergerakan warga, dan mencerminkan kualitas tata kelola sebuah kota. Karena itu, pembahasan transportasi tidak bisa dilepaskan dari dinamika masyarakat, struktur ekonomi mikro, dan kebijakan negara yang mengaturnya.
Dalam konteks Indonesia, moda transportasi konvensionalangkutan kota (angkot), metromini, bus kecil, hingga becak mesintelah puluhan tahun menjadi tulang punggung mobilitas masyarakat. Namun dalam satu dekade terakhir, modernisasi transportasi bergerak lebih cepat daripada kemampuan pemerintah menata transisinya. BRT, LRT, MRT, dan berbagai sistem baru hadir sebagai simbol kemajuan, tetapi keberadaan moda konvensional seolah dibiarkan berjalan tanpa arah yang jelas.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah modernisasi transportasi kita benar-benar memperbaiki mobilitas masyarakat, atau justru meninggalkan lubang besar dalam ekosistem transportasi kota?
Angkot: Moda Ekonomi Mikro yang Terpinggirkan
Angkot lahir sebagai respons terhadap kebutuhan mobilitas perkotaan. Ia tidak dibangun oleh negara, tetapi oleh masyarakat. Seperti dikemukakan Anthony Giddens dalam Structuration Theory, praktik sosial sehari-hari dapat membentuk struktur baru yang bertahan lama. Angkot adalah hasil dari praktik sosial itufasilitas yang muncul karena warga membutuhkan mobilitas yang murah, fleksibel, dan menjangkau permukiman.
Dengan trayek yang menyusup ke gang-gang kecil, angkot melengkapi layanan transportasi yang tidak dapat dijalankan bus besar. Ia bukan hanya moda transportasi, tetapi juga sistem nafkah bagi ribuan keluarga.
Namun, pola pengelolaan yang bergantung pada mekanisme setoran harian telah melahirkan banyak masalah: persaingan tidak sehat, manuver berbahaya, dan kualitas layanan yang tidak stabil. Dalam perspektif Prisoners Dilemma, sopir angkot terjebak dalam kompetisi yang merugikan semua pihakmelanggar aturan demi mengejar penumpang.
Pemerintah kemudian mencoba memperbaiki keadaan dengan menghadirkan BRT serta integrasi antarmoda. Namun, penataan itu sering dilakukan tanpa mekanisme transisi yang adil. Banyak sopir angkot kehilangan ruang hidup karena skema integrasi yang tidak matang, minim pendampingan, dan tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi pelaku usaha mikro.
Metromini dan Bus Kecil: Modernisasi yang Tidak Selesai
Metromini dan bus kecil pernah menjadi ikon transportasi kota, terutama di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Mereka hadir sebagai upaya formal pemerintah menyediakan moda transportasi yang terstruktur pada era pembangunan.
Namun, sebagaimana dijelaskan Douglass North dalam teori institutional failure, lembaga yang tidak mampu beradaptasi akan mengalami kemunduran. Perusahaan pengelola bus kecil enggan bertransformasi, tidak melakukan peremajaan armada, dan masih mengandalkan sistem lama. Akhirnya, metromini tergerus oleh perubahan kota.
Upaya integrasi ke sistem BRT, khususnya di Jakarta, sebenarnya merupakan langkah maju. Skema buy the service memberikan kepastian pendapatan bagi operator dan kualitas layanan bagi masyarakat. Tetapi pendekatan ini tidak mampu dilakukan oleh semua kota karena keterbatasan fiskal.
Di kota-kota sedang dan kecil, bus kecil tetap dibutuhkan sebagai moda menengahmengisi ruang yang tidak bisa diambil BRT maupun angkot. Namun tanpa reformasi kelembagaan dan dukungan pembiayaan, moda ini akan terus tertinggal.
Becak Mesin: Moda yang Tidak Diakui Tapi Tetap Diperlukan
Becak mesin, atau betor, adalah fenomena unik di Sumatera Utara, Aceh, Sulawesi, dan sejumlah daerah lain. Mereka berfungsi sebagai moda last mile, menghubungkan rumah-rumah warga ke jalan besar atau mengantar barang dan penumpang ke lokasi yang tidak dapat dilalui angkot.
Secara sosial, betor sangat penting. Namun secara hukum, eksistensinya berada di ruang abu-abu. Di beberapa kota, betor dianggap angkutan lingkungan; di kota lain, mereka dianggap tidak resmi. Ketiadaan regulasi yang konsisten membuat penataan betor menjadi setengah hati.
