XNEWS.ID –Pernikahan memang selalu menjadi momen penuh kebahagiaan, dua orang menyatukan hidup, membangun rumah tangga, dan merancang masa depan bersama. Namun, di tengah semua euforia dan rencana manis setelah mengucap janji, ada satu hal yang sering luput dari perhatian: urusan pajak.
Bagi sebagian besar pasangan muda, pajak mungkin bukan hal yang terpikirkan di tengah euforia pesta pernikahan, kredit rumah, atau rencana memiliki anak. Banyak yang menganggapnya hanya urusan kantor atau bagian HRD. Padahal, di dunia kerja dan keuangan, status pernikahan membawa perubahan besar terhadap status perpajakan seseorang. Perubahan kecil pada data pribadi bisa berdampak pada potongan gaji setiap bulan.
Hal ini berkaitan langsung dengan PTKP atau Penghasilan Tidak Kena Pajak, yaitu batas penghasilan seseorang yang tidak dikenai pajak penghasilan (PPh 21). Semakin tinggi tanggungan seseorang, semakin besar pula batas penghasilan yang bebas pajak. Artinya, status pernikahan dan jumlah tanggungan berpengaruh langsung terhadap berapa banyak pajak yang dibayar.
Sayangnya, masih banyak pasangan yang abai memperbarui status pajaknya setelah menikah. Ada yang tetap tercatat sebagai lajang di slip gaji, ada pula yang malah sama-sama mengklaim anak sebagai tanggungan. Sekilas tampak sepele, tetapi kesalahan ini bisa membuat gaji berkurang lebih besar dari seharusnya, bahkan berujung pada laporan pajak yang bermasalah.
Bayangkan, seorang karyawan menikah dan memiliki anak, namun status PTKP-nya tidak diubah dari TK/0 menjadi K/1. Padahal, dengan status baru itu, batas penghasilan yang tidak dikenai pajak akan naik, dan potongan PPh 21 bisa menjadi lebih ringan. Jika dibiarkan, potongan pajak yang salah ini bisa menumpuk selama berbulan-bulan dan merugikan pasangan yang baru membangun rumah tangga. Dalam jangka panjang, ini berarti kehilangan uang yang seharusnya bisa digunakan untuk kebutuhan keluarga, seperti pendidikan anak atau tabungan rumah.
Masalah lain yang juga sering muncul adalah ketika suami dan istri sama-sama bekerja lalu sama-sama mengklaim anak sebagai tanggungan. Padahal, aturan pajak di Indonesia jelas menyebutkan bahwa satu tanggungan hanya boleh diklaim oleh satu orang wajib pajak. Jika keduanya tetap mengklaim anak yang sama, sistem pajak akan mendeteksi data ganda dan bisa menolak laporan pajak tahunan atau menandainya sebagai data tidak sesuai.
