Oleh : Saur S. Turnip
XNEWS.ID – Sore tadi di sebuah warung kopi kecil dekat kantor kelurahan, saya mendengar percakapan sederhana antara dua warga yang baru saja selesai mengurus administrasi kependudukan. Kalimat-kalimat yang mengalir dari bibir mereka terasa lugas, tanpa filter akademik, tetapi justru menggambarkan denyut nadi sesungguhnya dari kegelisahan publik.
Eh, kau dengar nggak presiden Prabowo lagi-lagi kasih amnesti. Jadi orang yang salah, bisa keluar begitu saja? kata seorang bapak paruh baya, sambil menyeruput kopi hitamnya.
Kawan duduknya mengangguk pelan, Iya bingung juga. Kita ini disuruh taat hukum, tapi kalau sudah urusan orang besar, kok hukumnya bisa berubah? Lama-lama orang bisa nggak percaya lagi.
Obrolan sederhana itu, meski tampak remeh, adalah serpihan kecil dari potret besar yang sedang dihadapi bangsa ini: bagaimana negara menjelaskan dengan jernih dan manusiawi alasan di balik penggunaan otoritas Presiden dalam memberikan amnesti, abolisi, atau rehabilitasidan bagaimana publik membaca tindakan itu tidak semata sebagai manuver kekuasaan, tetapi sebagai bagian dari mekanisme hukum modern.
Karena pada akhirnya, negara demokratis hanya bisa berjalan jika kepercayaan publik dipelihara. Dan dalam isu yang sensitif seperti pengampunan Presiden, komunikasi publik bukan sekadar pelengkap. Ia adalah syarat legitimasi.
Otoritas Presiden: Anugerah Konstitusi yang Sering Salah Dipahami
UUD 1945 memberikan Presiden otoritas memberi amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Secara historis, kewenangan ini diberikan bukan untuk melanggengkan kekuasaan, melainkan untuk mencegah hukum menjadi alat balas dendam atau mesin yang berjalan tanpa nurani.
Dalam tradisi hukum internasional, kewenangan serupa (pardon power) ditemui di Amerika Serikat, Perancis, Jerman, India, hingga Afrika Selatan. Dalam sejarahnya, kewenangan eksekutif untuk mengampuni adalah bagian dari mekanisme koreksi, karena hakim, jaksa, dan penegak hukum adalah manusia yang bisa keliru.
Tetapi di Indonesia, di tengah dinamika politik, kewenangan ini sering dibaca publik sebagai tindakan politis semata.
Masalahnya bukan pada kewenangannyamelainkan narasi yang menyertai penggunaannya.
Seorang profesor politik dari Harvard, Mark Tushnet, dalam bukunya The Constitution of Civil Society, menekankan bahwa clemency is constitutional, but its legitimacy depends on its narrative. Artinya, pengampunan sah secara hukum, namun penerimaan publik sangat tergantung pada bagaimana pemerintah menjelaskan mengapa keputusan itu diambil.
Sayangnya, inilah yang sering absen.
Sepuluh Tahun Terakhir: Contoh Nyata dan Kekosongan Narasi
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menyaksikan beberapa tindakan Presiden terkait amnesti dan rehabilitasi. Bukan semuanya kontroversial, tetapi pola komunikasi pemerintah acapkali tidak utuh, tidak sistematis, atau tidak memadai.
Beberapa kasus yang pernah muncul, misalnya:
a. Rehabilitasi Baiq Nuril (2019)
Kasus Baiq Nuril, seorang guru yang menjadi korban pelecehan verbal, mendapatkan banyak dukungan publik. Presiden memberi amnesti setelah proses politik dan publik mendesak. Keputusan ini banyak dipuji, namun meski jelas alasan perlindungan korban kekerasan, penjelasan resmi pemerintah tetap minim.
b. Ratusan napol dan napiter dalam konteks Papua atau konflik daerah
Beberapa pemberian tindakan Presiden terkait konflik politik lokal sering dipahami publik sebagai deal politik. Padahal banyak di antaranya merupakan bagian dari strategi stabilisasi keamanan. Tetapi karena narasinya tidak pernah dilandaskan pada penjelasan komprehensif, publik membaca melalui kacamata kecurigaan.
c.Rehabilitasi dan amnesti terhadap tokoh publik tertentu
Dalam beberapa kasus, pemberian rehabilitasi atau pengampunan memunculkan persepsi obral kewenangan. Meski sebagian dari keputusan tersebut sebenarnya merupakan koreksi setelah putusan pengadilan yang dianggap cacat secara prosedural, ketiadaan komunikasi publik membuat publik merasakannya sebagai tindakan politis, bahkan elitistik.
Dalam berbagai negara lain, pola seperti ini pernah terjadi, tetapi pemerintah biasanya mengantisipasi dengan membangun narasi publik yang kuat.
Ketika Komunikasi Publik Absen, Apatisme Mengintai
Fenomena kelelahan atau ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara adalah sesuatu yang sudah diteliti secara mendalam oleh banyak ilmuwan politik.
Menurut Francis Fukuyama, rasa percaya (trust) adalah modal sosial paling berharga dari suatu bangsa, dan pemerosotan kepercayaan publik biasanya berawal dari ketidakjelasan antara hukum dan politik.
Hal itulah yang kini menjadi tantangan pemerintahan modern, termasuk Indonesia.
