Merawat Kepercayaan Publik di Tengah Otoritas Presiden

oleh -34 Dilihat

Ketika masyarakat mendengar tentang pemberian amnesti atau abolisi, publik tidak membaca pasal UUD atau memori penjelasan konstitusi. Yang mereka lihat adalah siapa yang diberi, apa latar belakangnya, dan seberapa transparan alasan negara.

Jika ketiganya tidak jelas, lahirlah persepsi:

Ada main mata.

Hukum untuk rakyat kecil keras, untuk orang besar longgar.

Kalau punya koneksi, bisa bebas.

Inilah bibit apatisme.

Sebagian warga yang saya temui dalam berbagai diskusi komunitas sering mengatakan bahwa mereka tidak hanya ingin tahu hasilnya, tetapi ingin tahu argumennya. Mereka ingin negara berbicara jujur kepada merekatanpa bahasa teknokratis, tanpa tameng birokrasi.

Perspektif Para Ahli Internasional: Pengampunan Butuh Narasi Moral

Negara-negara demokrasi matang memahami bahwa kewenangan pengampunan Presiden memiliki dimensi moral, bukan sekadar dimensi legal. Karena itu, para pemimpin duniadari Nelson Mandela, Barack Obama, hingga Emmanuel Macronselalu menyertai penggunaan kewenangan tersebut dengan penjelasan moral, sosial, dan historis.

Beberapa pandangan penting:

  • Bruce Ackerman (Yale University)

Mengatakan bahwa clemency adalah the Presidents most delicate constitutional instrument. Menurutnya, pengampunan harus diiringi rationale that honors public reason.

  • Kathleen Dean Moore (Oregon State University)

Menjelaskan bahwa tindakan pengampunan adalah ethical storytellingcerita tentang mengapa negara memilih welas asih di atas prosedur.

  • Aharon Barak (mantan Ketua Mahkamah Agung Israel)

Barak menekankan bahwa pengampunan adalah bridge between law and humanity. Namun jembatan itu rapuh jika tidak ada penjelasan.

Dari perspektif ini, jelas bahwa otoritas Presiden bukanlah masalah. Yang menjadi persoalan adalah kekosongan narasi, minimnya keterlibatan publik, dan kurangnya pendidikan hukum yang membumi.

Indonesia Hari Ini: Kebutuhan Mendesak Akan Komunikasi Publik yang Mengayomi

Dalam pemerintahan apa pun, termasuk pemerintahan Presiden Prabowo, penggunaan kewenangan konstitusional dalam bentuk amnesti atau abolisi pasti akan dipantau secara kritis oleh publik. Itu adalah ciri demokrasi.

Namun ketika penggunaan kewenangan itu muncul dalam jumlah relatif banyak atau dirasakan obral, pemerintah harus menyadari bahwa komunikasi publik menjadi kunci utama untuk mencegah delegitimasi.

Ada tiga hal yang dapat dilakukan pemerintah:

  1. Komunikasi Berbasis Reason-giving

Pemerintah wajib menjelaskan:

  • alasan moral (mengoreksi ketidakadilan terhadap korban)
  • alasan hukum (putusan mengandung kekeliruan substantif)
  • alasan sosial-politik (untuk menjaga stabilitas di daerah rawan konflik)

Tanpa penjelasan seperti ini, masyarakat hanya menebak motifnyadan tebakannya cenderung negatif.

  1. Melibatkan Panel Ahli Independen

Beberapa negara membentuk Clemency Board yang terdiri dari akademisi, praktisi hukum, dan tokoh masyarakat.