Mereka bukan penentu, tetapi pemberi rekomendasi.
Jika Indonesia menerapkan pola ini, transparansi meningkat dan persepsi negatif menurun.
- Menyusun Narasi yang Membumi
Komunikasi publik pemerintah selama ini sering terjebak dalam bahasa legal teknokratis. Tidak semua warga paham istilah prosedur yudisial cacat, inkonsistensi yuridis, atau diskresi eksekutif.
Publik perlu cerita yang humanis: siapa dirugikan, mengapa hukum harus memberi ruang koreksi, dan bagaimana negara memastikan tidak ada diskriminasi.
Menjembatani Negara dan Rakyat:
Mengembalikan Hukum kepada Keadilan Sosial
Indonesia tidak boleh terjebak dalam dikotomi palsu: antara presiden yang tidak boleh menggunakan kewenangannya atau presiden yang dihakimi setiap kali kewenangan itu digunakan.
Yang dibutuhkan adalah keseimbangankeseimbangan antara kepastian hukum dan nurani, antara prosedur dan keadilan substantif.
Dalam banyak percakapan dengan masyarakat akar rumput, saya menemukan bahwa rakyat sesungguhnya tidak anti terhadap tindakan pengampunan. Mereka hanya membutuhkan kejelasan, keadilan yang konsisten, dan penjelasan yang jujur.
Karena pada dasarnya, rakyat tidak meminta banyak: mereka hanya ingin negara bersikap seperti orang tua yang bijak bukan hanya memutuskan, tetapi juga menjelaskan mengapa sebuah keputusan dibuat.
Penutup: Merawat Kepercayaan di Tengah Gejolak
Suatu hari nanti, ketika generasi berikutnya membaca sejarah bangsa ini, mereka mungkin akan bertanya: bagaimana negara menjaga kepercayaan rakyatnya di era informasi yang liar, ketika kebenaran sering dikalahkan oleh narasi?
Jawabannya sederhana:
Dengan kejujuran, dengan komunikasi publik yang menghormati kecerdasan rakyat, dan dengan kemauan untuk menjelaskan keputusan yang sulit sekalipun.
Otoritas Presiden dalam memberikan amnesti, abolisi, dan rehabilitasi bukanlah masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika keputusan itu tidak disertai penjelasan yang layak.
Jika pemerintah mampu membangun narasi yang kuat, inklusif, dan jujur, maka keputusan apa punbahkan yang paling kontroversialakan lebih mudah diterima.
Sebaliknya, jika narasi ini absen, maka apatisme dan ketidakpercayaan akan tumbuh, dan itu jauh lebih berbahaya daripada kontroversi sesaat.
Pada akhirnya, negara harus memilih:
Apakah ia ingin dihormati karena kekuasaannya?
Ataukah ia ingin dipercaya karena kejujurannya?
Jawaban atas pertanyaan itulah yang akan menentukan masa depan demokrasi kita. @opungnsJJ
