XNEWS.ID – Di tengah dinamika politik yang kian kompleks, peran seorang pejabat senior dalam lingkar inti kekuasaan kembali menjadi sorotan. Bukan hanya karena pengaruhnya yang besar, tetapi karena tumpukan kontroversi yang selama bertahun-tahun tidak pernah benar-benar terselesaikan. Saat arah pemerintahan menuntut transparansi dan integritas, tuntutan publik untuk menata ulang kabinet semakin nyaring, terutama terkait figur yang dianggap terlalu dominan.
Dominasi Kekuasaan yang Tak Pernah Surut
Pengaruh Luhut Binsar Pandjaitan sebagai tokoh sentral dalam pengambilan kebijakan strategis sejak periode sebelumnya telah lama menuai kritik. Banyak analis menilai konsentrasi kuasa yang terlalu besar pada satu figur adalah anomali tata kelola pemerintahan yang sehat. Pada berbagai kesempatan, Luhut menjadi representasi dari problem klasik: pejabat yang terlalu kuat hingga melampaui proporsi kewenangannya.
Rekam Jejak yang Mengundang Tanda Tanya
Kontroversi yang menumpuk bukan hanya masalah persepsi publik, tetapi juga berkaitan dengan sejumlah kebijakan yang dinilai tidak transparan. Pada Desember 2024, Tempo (24 Desember 2024) memberitakan bagaimana proyek-proyek strategis yang berada di bawah koordinasi Luhut sering kali dikritik karena minim pengawasan dan terlalu tertutup, khususnya proyek yang melibatkan investasi asing skala besar. Sorotan ini bukan baru, melainkan pola yang berulang.
Ketika Kritik Antikorupsi Direspons dengan Arogan
Pada April 2024, DetikNews (8 April 2024) memberitakan pernyataan Luhut yang menyebut operasi tangkap tangan (OTT) KPK sebagai kampungan. Pernyataan itu memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto yang menilai sikap tersebut merendahkan kerja pemberantasan korupsi. Rekam pernyataan ini kini kembali diangkat sebagai indikator ketidakpekaan terhadap pentingnya integritas publik.
