Tag: Citizen Journalis

LHOKSEUMAWE, (XNews.id) - Sudah 3 bulan setengah sejak kembali dari Australia, saya menetap di rumah keluarga saya di Krueng Geukueh, Aceh Utara. Kondisi pandemi COVID 19 mengharuskan saya untuk berkerja dari rumah setelah selesai menuntut ilmu dari Negeri Kangguru. Kondisi ini juga praktis membuat anggota keluarga lainnya harus bekerja dan belajar dari rumah. Ayah saya yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan swasta, jam kerjanya dipangkas dari yang sebelumnya lima hari dalam seminggu, menjadi hanya dua atau tiga hari. Dua orang adik saya juga melakukan kegiatan belajar dari rumah sehingga mereka lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dibandingkan saat bersekolah normal seperti sebelumnya. Sedangkan seorang adik yang lain juga harus kembali dari kos-kosannya di Banda Aceh untuk melaksanakan kegiatan perkuliahan dari rumah. Sehingga kami bertujuh, termasuk ibu dan seorang adik kecil yang belum bersekolah melakukan kegiatan sehari-hari di rumah saja sejak Maret lalu. Kondisi ini kemudian menjadi masalah tersendiri bagi rumah kami, terutama masalah pembuangan sampah. Produksi sampah rumah tangga selama masa pandemi di rumah kami dapat dikatakan meningkat drastis dari yang sebelumnya satu kantong plastik per dua hari menjadi rata – rata dua kantong plastic per hari. Tempat penampungan sampah di belakang rumah juga melebihi kapasitas dan sulit untuk dibakar. Membakar sampah juga memiliki kekurangan tersendiri, selain mengganggu kesehatan orang yang membakar, juga mencemari lingkungan. Tidak jarang udara pagi dan sore di Krueng Geukuh berkabut akibat asap pembakaran sampah rumah tangga. Untuk diketahui, di lingkungan perumahan kami belum ada fasilitas pengangkutan sampah. Mengangkut sampah sendiri ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara) menjadi alternatif yang disarankan tetangga, namun melihat TPS yang tersedia juga sudah overload, kami mengurungkan niat tersebut. Contohnya saja, TPS di perbatasan Kota Lhokseumawe dan Kecamatan Dewantara, Aceh Utara yang sudah beberapa bulan ini dibanjiri sampah hingga memenuhi pinggiran jembatan di perbatasan Aceh Utara dan Lhokseumawe tersebut. Beberapa waktu lalu, TPS ini sempat dibersihkan, namun belum ada langkah nyata untuk memecah lokasi TPS atau memindahkan TPS yang lokasinya mengganggu pengguna Jalan Nasional tersebut. Sampah Menggunung di Jembatan Krung Gekueh (Aceh Utara) dan Lhokseumawe (Foto : Ist) TPS yang tidak memadai serta informasi TPS yang tidak jelas membuat munculnya TPS – TPS liar di seputaran Kota Krueng Geukueh dan sepanjang Jalan Nasional Medan Banda Aceh yang bersisian dengan pagar Komplek PT PAG. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karna sampah-sampah tersebut tertumpuk lama hingga memberikan dampak buruk pada lingkungan seperti bau tidak sedap dan air lindi yang mencemari sungai maupun selokan. Jika mengacu pada data statistik tahun 2016, penduduk Kecamatan Dewantara berjumlah 49,149. Jika per orang menghasilkan 0.5 kilogram sampah per hari, maka produksi sampah harian kecamatan ini mencapai 24.5 ton. Namun, dari jumlah tersebut tampaknya kecamatan dan gampong belum memiliki fasilitas pengolahan sampah yang memadai seperti incinerator pembakar sampah yang aman. Padahal, jika dana desa dialokasikan untuk penanganan sampah, mungkin sudah ada langkah pasti yang bisa dijalankan untuk mengurangi dampak sampah rumah tangga dan pasar di Kecamatan Dewantara. Memilah Sampah di Rumah Menanggapi kurangnya sarana dan prasarana sampah seperti ini, saya berinisiatif sendiri untuk memilah sampah sebelum dibuah ke tempat pembuangan. Pengalaman mengelola sampah secara mandiri di Australia saya terapkan dalam proses ini. Sampah-sampah ini dibagi berdasarkan sampah basah dan kantong plastik, serta sampah daur ulang, seperti botol, kaleng, dan gelas. " Saya mengedukasi anggota keluarga dengan pemberitahuan-pemberitahuan agar sampah daur ulang tidak dicampur ke sampah basah. Ke mana selanjutnya sampah daur ulang ini dibuang? Sampah-sampah ini kami salurkan ke pengumpul sampah daur ulang yang setiap pagi memulung barang-barang bekas di TPS seputaran Dewantara. Alternatif lain yang akan kami jajaki adalah memberikan sampah ini ke bank sampah yang berada di salah satu Dayah di Kota Lhokseumawe. Kabarnya, Dayah tersebut melakukan pengolahan sampah plastik menjadi bijih plastik, untuk selanjutnya dijual ke Sumatera Utara ". Bagaimana dengan sampah basah? Untuk sementara kami masih melakukan pembakaran dan penimbunan. Untuk selanjutnya saya ingin mempelajari teknik composting untuk mengurangi dampak lingkungan akibat pembakaran sampah. Begitulah hal kecil yang dapat kita lakukan untuk menyelamatkan lingkungan kita dari tumpukan sampah. Jika anda memiliki budget yang terbatas dalam pengelolaan sampah, anda bisa memilah sampah tersebut sebelum dibakar atau ditimbun sendiri di rumah. Atau mempelajari teknik composting agar sampah yang dibuang dapat digunakan kembali menjadi pupuk tanaman. (*) Oleh Muhammad Naufal Fadhil, Dosen Arsitektur di UIN Ar Raniry Banda Aceh