UU Ciptaker Inkonstitusional Bersyarat, MK Perintahkan Revisi UU PPP

oleh -85 Dilihat

JAKARTA (XNews.id) – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) inkonstitusional bersyarat. Dalam putusan uji materi setebal 448 halaman tersebut, MK menyatakan UU yang disusun dengan metode omnibus law itu bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak memenuhi tata cara baku dan standar pembentukan undang-undang. Khususnya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).

Konsekuensinya, MK memerintah pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka dua tahun. Jika tidak, UU Ciptaker dinyatakan inkonstitusional secara permanen. Selain itu, MK memerintahkan penghentian penerapan semua kebijakan strategis yang terkait dengan UU Ciptaker. ”Serta tidak dibenarkan pula menerbitkan aturan pelaksana baru,” ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan.

MK menilai, pembentukan UU Ciptaker belum jelas. UU itu baru atau revisi UU. Sebab, dari aspek nomenklatur, UU Ciptaker merupakan UU baru. Namun, substansi terbesar berisi perubahan-perubahan UU lama. Model tersebut tidak sejalan dengan ketentuan di UU PPP. Karena itu, jika terdapat kebutuhan baru dalam penyusunan UU yang sesuai dengan dinamika zaman, pemerintah dan DPR bisa lebih dulu melakukan penyesuaian. ”Terbuka ruang untuk mengubah lampiran UU 12/2011 (UU PPP),” kata hakim MK Enny Nurbaningsih.

Perubahan tersebut dapat dirancang untuk mengikuti perkembangan kebutuhan hukum. Termasuk jika peraturan perundang-undangan akan disederhanakan dengan metode apa pun, termasuk omnibus law. ”Dengan demikian, tetap tercipta kondisi tertib dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,” tuturnya.

Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyederhanakan banyak peraturan tidak bisa dijadikan alasan untuk menyimpangi ketentuan UU.

MK juga meminta tata cara atau prosedur penyusunan UU diperbaiki. Mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, hingga pengesahannya. Kemudian, prosesnya juga harus transparan dan melibatkan publik.

Persoalan lain yang ditemukan MK dalam UU Ciptaker adalah adanya pelanggaran dalam tahap pengundangan. Ada banyak perubahan substansial pada draf pasca persetujuan DPR dan presiden dengan draf pasca diundangkan. Setidaknya ada delapan norma yang substansinya berubah tidak sebatas typo atau redaksional yang dapat dimaklumi. Tepatnya pada halaman 151–152, 388, 390, 391, 374, dan 424. MK juga menemukan kesalahan pengutipan dalam rujukan pasal. Misalnya, pada pasal 6. ”Sehingga hal tersebut tidak sesuai dengan asas kejelasan rumusan,” kata hakim MK Suhartoyo.

Lantas, mengapa waktu perbaikan harus dua tahun? MK berpendapat, dua tahun adalah waktu yang proporsional untuk membenahi berbagai kesalahan. Suhartoyo menjelaskan, meski secara drafting melanggar, pihaknya memutuskan UU itu inkonstitusional bersyarat karena menyadari adanya kebutuhan strategis pemerintah melalui UU tersebut.

Beda Pendapat

Di antara sembilan hakim MK, lima orang setuju bahwa UU Ciptaker dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Mereka adalah Saldi Isra, Aswanto, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Enny Nurbaningsih. Empat hakim lain berbeda pendapat. Yakni, Anwar Usman, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P. Foekh, dan Manahan M.P. Sitompul. Keempatnya menyatakan, meski memiliki banyak kelemahan dari sisi legal drafting, UU Ciptaker sangat dibutuhkan.

”Menurut kami, seharusnya permohonan pengujian formil UU Ciptaker dinyatakan ditolak,” ujar Arief membacakan pendapat berbeda. Mereka juga beralasan, tahap pembentukan UU Ciptaker sudah sangat baik dan cermat jika dilihat dari aspek filosofis, sosiologis, maupun pertimbangan yuridis. Tujuannya, mewujudkan amanat pembukaan UUD 1945 yang merupakan arahan fundamental mengenai visi, misi, dan tujuan nasional yang harus diwujudkan.

Putusan MK diapresiasi kelompok buruh. Kuasa hukum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Salahudin berharap perbaikan UU Ciptaker tidak berbarengan dengan revisi UU PPP. Dia menuturkan, UU PPP harus diselesaikan dahulu. Baru setelah itu pemerintah bersama DPR membahas perbaikan UU Ciptaker.

Tantangannya adalah waktu yang terbatas. Dia mengungkapkan, waktu dua tahun berpotensi tidak memadai untuk membahas dua UU tersebut. Kecuali, pembahasannya dikebut seperti pembuatan UU Ciptaker selama ini. ”Semua bergantung proses di DPR,” jelasnya.

Tim hukum KSPI lainnya, Imam Nassef, mengingatkan bahwa salah satu amar putusan MK adalah penangguhan pembuatan kebijakan atau tindakan. Dia menjelaskan, hal itu berkaitan dengan penerapan sebuah peraturan perundang-undangan. Termasuk peraturan turunan. Dengan amar putusan tersebut, penerapan seluruh PP turunan UU Ciptaker harus ditangguhkan. Penangguhan kebijakan berkaitan dengan pembentukan aturan baru. ’’Implementasi maupun pembentukan kebijakan baru ditunda sampai ada perbaikan,’’ tuturnya.

Nassef menambahkan, perubahan UU Ciptaker yang diamanatkan MK bersifat total. Jadi, semuanya harus dimulai dari proses awal. Mulai tahap perencanaan sampai perundangan.