Oleh: Sylla Almira Syarif
Indonesia menargetkan pencapaian bauran energi terbarukan (EBT) sebesar 17–20% pada tahun 2025. Realisasi investasi di sektor EBT pada 2024 hanya mencapai USD 1,8 miliar (sekitar Rp 29,5 triliun), jauh dari target USD 2,6 miliar (Rp 42,5 triliun), sehingga transisi energi masih tertinggal.
RUPTL PLN 2025–2034 mencatat Indonesia akan menambah 42,5 GW kapasitas pembangkit EBT dan membangun 10,2 GW penyimpanan energi hingga 2034, yang menunjukkan besarnya kebutuhan energi bersih di masa depan.
Dari aspek sumber daya, survei terhadap 622 pemuda usia 17–35 tahun menunjukkan bahwa 95% responden menyadari pentingnya pelestarian lingkungan, sementara lebih dari 70% menyatakan minat pada Green Jobs meski pengetahuan awal terhadap istilah ini masih minim. Meskipun demografi Indonesia menyumbang potensi besar, ekosistem wirausaha hijau masih sangat terbatas.
Banyak generasi muda di Indonesia belum memahami konsep Green Jobs dan peluang karier di sektor energi terbarukan secara menyeluruh. Meskipun ada antusiasme melalui kampanye dan ajang seperti hackathon energi bersih, pemahaman dan akses terhadap informasi formal masih terbatas. Hanya 70 dari 191 jenis pekerjaan hijau yang memiliki standar kompetensi kerja nasional, dan materi energi bersih belum terintegrasi secara merata dalam kurikulum pendidikan, terutama di luar Jawa.
Kesenjangan ini menghambat keterlibatan optimal anak muda dalam transisi energi. Menteri Ketenagakerjaan menyebut bahwa tanpa pembaruan keahlian, sebagian besar kompetensi tenaga kerja saat ini akan usang dalam satu dekade. Padahal, IESR memperkirakan Indonesia membutuhkan hingga 3,7 juta tenaga kerja di sektor energi terbarukan pada 2030, namun suplai tenaga terlatih masih belum mencukupi.
Di sisi lain, semangat wirausaha hijau dari pemuda tidak diimbangi dengan ekosistem pendukung yang memadai. Akses terhadap pendanaan awal, pelatihan bisnis, dan jaringan kolaborasi masih terbatas, terutama di daerah 3T.
Banyak ide inovatif dari anak muda gagal berkembang karena sulit menjangkau investor berbasis ESG atau platform crowdfunding, sementara institusi mitra lokal seperti koperasi hijau dan BUMDes belum terintegrasi secara strategis.
Dukungan pembiayaan kewirausahaan di tingkat nasional pun masih jarang menyasar sektor energi bersih. Akibatnya, potensi solusi berkelanjutan dari pemuda kerap berhenti di tahap gagasan tanpa berlanjut menjadi aksi nyata.

